Agama
Islam diyakini telah hadir di Jambi sekitar abad 7 M dan berkembang
menjadi agama kerajaan setelah abad 13 M. Orang Parsi (Iran), Turki dan
bangsa Arab lainnya telah hadir di pantai timur Jambi (Bandar Muara
sabak) sekitar abad 1 H (abad 7 M). Dalam catatan I-Tsing disebutkan
bahwa sewaktu ia mengunjungi Melayu (Mo-lo-yeu), ia menumpang kapal
Persia (Iran). Pada masa itu di Iran, agama Islam telah menyebar dalam
masyarakatnya. Walaupun perkiraan kehadiran Islam di Jambi sekitar abad 7
M namun penyebarannya masih terbatas pada segelintir orang tertentu
saja, terutama di kalangan rakyat pedagang di sekitar kota pelabuhan dan
bandar-bandar.
Proses Simbiosis dan akulturasi Islam dengan masyarakat Jambi berlangsung cukup lama dalam suasana damai tanpa kekerasan bahkan ajaran Islam melekat dalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi seperti tergambar dalam adagium “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabullah”.
Dalam proses Islamisasi di Jambi peran Alawiyin cukup dominan bahkan memegang tampuk penggerak kerena sejak peralihan kerajaan Melayu kuno ke Melayu Islam, dimana Raja-Raja atau penguasanya adalah keturunan langsung Akhmad Barus II.
Achmad Barus II dipanggil oleh masyarakat Jambi dengan sebutan Datuk Paduko Berhalo. Ia adalah putra Sultan Turki bernama Sultan Saidina Zainal Abidin, dari keturunan ke-7 silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW (keturunan dari Husin bin Fatimah binti Rasulullah SAW). Dalam sejarah Jambi disebutkan bahwa Datuk Paduko Berhalo menikah dengan Tuan Puteri Selaro Pinang Masak yang merupakan seorang raja putri yang berkuasa di Ujung Jabung dan melahirkan banyak keturunan yaitu:
Terjemahannya:
Pasal yang tiga puluh enam: Pri menyatokan awal Islam di Jambi zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo. Kepado hijrat Nabi Sallallahi Alaihi Wassalam 700 tahun kepado tahun Alif bilangan Syamsiah, dan kepado sehari bulan Muharam, hari Kemis, pada waktu zuhur, maso itulah awal Islam di Jambi mengucap duo kalimat Syahadat, sembahyang limo waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah, barulah berdiri rukun Islam yang limo.
Metode penyebaran Islam yang diterapkan oleh Orang Kayo Hitam adalah melalui kinerja pegawai syarak. Di setiap dusun diangkat oleh raja pegawai syarak dan di dusun-dusun yang tergolong besar diangkat pula seorang kadi. Pegawai syarak tersebut adalah sebagai berikut:
Kejayaan kebudayaan Melayu Islam Jambi dimulai masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar (1615–1643 M). Pada masa kejayaannya maka kebudayaan Melayu Islam mampu menggantikan posisi kebudayaan Melayu Budhis sebagai pusat ide dan inspirasi masyarakat. Dalam perkembangannya ternyata pengaruh Islam sangat mendalam tertanam di hati dan jiwa orang Melayu Jambi mencakup segala aspek kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerintahan, kepercayaan, hukum adat, pendidikan, bahasa, dan adat istiadat.
Perdagangan lada merupakan komoditas yang sangat menguntungkan. Pada mulanya pihak kesultanan (yang juga bertindak sebagai pengumpul dan penjual) melakukan perdagangan dengan orang-orang Portugis, perusahaan dagang Inggris dan juga Hindia Timur Belanda. Para perusahaan dagang tersebut juga melibatkan orang-orang Cina, Melayu, Bugis dan Jawa. Dari monopoli perdagangan dan bea Impor Ekspor inilah para Sultan Jambi menjadi kaya dan membiayai perjalanan Pemerintahannya. Dengan posisi demikian Jambi ikut berperan aktif dalam hubungan Internasional,
Pada tahun 1670 an keperkasaan Jambi sebanding dengan Palembang dan Johor. Kondisi inilah yang menarik para pedagang dan ulama datang ke Jambi, diantaranya Al-Habib Husen setelah beberapa saat tinggal di Malaka atau Johor yang sekaligus membekali dengan kemampuan berbahasa Melayu yang merupakan media pengikat dengan masyarakat Jambi. Ada juga informasi bahwa Al-Habib Husen sebelum ke Jambi beliau menetap dan kawin di Palembang. Beberapa tahun kemudian baru pindah dan menetap di Pecinan Seberang Kota Jambi.
Al-Habib Husen bin Ahmad Baragbah yang juga di kenal sebagai Tuanku Keramat Tambak, juga merupakan kuturunan dari Rasulullah SAW. Silsilah beliau yaitu: Said Husen bin Abdurrahman bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Al Faqih Al Muqaddam bin Muhammad bin Ali Ba`alawi bin Muhammad bin Shohibu Marbat bin Ali Al Khali Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An wajib bin Ali al_Uraidhi bin Ja`far As-shodig bin Muhammad Al_Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah binti Rasulillah SAW.
Dari silsilah nama ini tampak jelas ada hubungan leluhur lansung dengan Akhmad Salim/Akhmad Barus. Berarti Said Husain juga adalah Alawiyin yang menyebarkan agama islam di Jambi.
Kehadiran Said Husin bin Ahmad Baragbah bersama anaknya bernama Said Qosim tinggal di kampung Arab Melayu. Selama 35 tahun ia menurunkan ilmu ajaran Islam dan setelah wafat di tahun 1173 H (1743 M) di lanjutkan oleh anak dan para muridnya. Makamnya di perkuburan khusus keturunan Ahlul Bait Rasulullah SAW di Tahlul Yaman yang dikenal juga sebagai makam Keramat Tambak. Nama Tambak di lekatkan di sana karena makam ini di tinggikan dengan penimbunan tanah yang disebut masyarakat sebagai Tambak. Sayyid Qosim wafat di tahun 1186 H (1756 M) dan di makamkan di samping makam ayahnya.
Proses Simbiosis dan akulturasi Islam dengan masyarakat Jambi berlangsung cukup lama dalam suasana damai tanpa kekerasan bahkan ajaran Islam melekat dalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi seperti tergambar dalam adagium “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabullah”.
Dalam proses Islamisasi di Jambi peran Alawiyin cukup dominan bahkan memegang tampuk penggerak kerena sejak peralihan kerajaan Melayu kuno ke Melayu Islam, dimana Raja-Raja atau penguasanya adalah keturunan langsung Akhmad Barus II.
Achmad Barus II dipanggil oleh masyarakat Jambi dengan sebutan Datuk Paduko Berhalo. Ia adalah putra Sultan Turki bernama Sultan Saidina Zainal Abidin, dari keturunan ke-7 silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW (keturunan dari Husin bin Fatimah binti Rasulullah SAW). Dalam sejarah Jambi disebutkan bahwa Datuk Paduko Berhalo menikah dengan Tuan Puteri Selaro Pinang Masak yang merupakan seorang raja putri yang berkuasa di Ujung Jabung dan melahirkan banyak keturunan yaitu:
- Orang Kayo Pingai
- Orang Kayo Kedataran
- Orang Kayo Hitam
- Orang kayo Gemuk
Baik
pada masa pemerintahan Putri Selaras Pinang Masak, maupun pemerintahan
Orang Kayo Pinggai dan masa pemerintahan Orang Kayo Kedataran belum
tampak pengaruh agama Islam dalam pemerintahan dan penduduk. Namun
setelah Orang Kayo Hitam
naik tahta tahun 1500 M ia melepaskan hubungan dengan Majapahit dan
mengumumkan agar seluruh penduduk harus memeluk agama Islam. Pengumuman
ini diterima dengan baik oleh penduduk, sama dengan cara penerimaan
agama Hindu Buddha sebelumnya. Naluri ketimuran yang biasa terpimpin
dari atas menambah suksesnya perkembangan agama baru itu oleh raja dan
pembesar-pembesar negeri. Struktur pemerintahan disesuaikan dengan
perkembangan agama Islam. Gelar Raja berubah menjadi Penembahan dan
kemudian Sultan. Gelar Sultan tetap dipakai sampai dengan dihapuskan
Kerajaan Jambi setelah kekalahan Sulthan Thaha Syaifiddin dalam
menentang pejajahan Belanda.
Orang Kayo Hitam selama hidupnya melakukan banyak hal dan berjasa bagi Islam di Jambi. Salah satu di antaranya adalah mengislamkan penduduk Jambi seperti tertulis di dalam Pasal 36 Piagam Jambi.
Orang Kayo Hitam selama hidupnya melakukan banyak hal dan berjasa bagi Islam di Jambi. Salah satu di antaranya adalah mengislamkan penduduk Jambi seperti tertulis di dalam Pasal 36 Piagam Jambi.
Terjemahannya:
Pasal yang tiga puluh enam: Pri menyatokan awal Islam di Jambi zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo. Kepado hijrat Nabi Sallallahi Alaihi Wassalam 700 tahun kepado tahun Alif bilangan Syamsiah, dan kepado sehari bulan Muharam, hari Kemis, pada waktu zuhur, maso itulah awal Islam di Jambi mengucap duo kalimat Syahadat, sembahyang limo waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah, barulah berdiri rukun Islam yang limo.
Metode penyebaran Islam yang diterapkan oleh Orang Kayo Hitam adalah melalui kinerja pegawai syarak. Di setiap dusun diangkat oleh raja pegawai syarak dan di dusun-dusun yang tergolong besar diangkat pula seorang kadi. Pegawai syarak tersebut adalah sebagai berikut:
- Imam Masjid
- Khotib
- Bilal
- Mudim
- Kadi (Hakim Agama)
Kejayaan kebudayaan Melayu Islam Jambi dimulai masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar (1615–1643 M). Pada masa kejayaannya maka kebudayaan Melayu Islam mampu menggantikan posisi kebudayaan Melayu Budhis sebagai pusat ide dan inspirasi masyarakat. Dalam perkembangannya ternyata pengaruh Islam sangat mendalam tertanam di hati dan jiwa orang Melayu Jambi mencakup segala aspek kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerintahan, kepercayaan, hukum adat, pendidikan, bahasa, dan adat istiadat.
Perdagangan lada merupakan komoditas yang sangat menguntungkan. Pada mulanya pihak kesultanan (yang juga bertindak sebagai pengumpul dan penjual) melakukan perdagangan dengan orang-orang Portugis, perusahaan dagang Inggris dan juga Hindia Timur Belanda. Para perusahaan dagang tersebut juga melibatkan orang-orang Cina, Melayu, Bugis dan Jawa. Dari monopoli perdagangan dan bea Impor Ekspor inilah para Sultan Jambi menjadi kaya dan membiayai perjalanan Pemerintahannya. Dengan posisi demikian Jambi ikut berperan aktif dalam hubungan Internasional,
Pada tahun 1670 an keperkasaan Jambi sebanding dengan Palembang dan Johor. Kondisi inilah yang menarik para pedagang dan ulama datang ke Jambi, diantaranya Al-Habib Husen setelah beberapa saat tinggal di Malaka atau Johor yang sekaligus membekali dengan kemampuan berbahasa Melayu yang merupakan media pengikat dengan masyarakat Jambi. Ada juga informasi bahwa Al-Habib Husen sebelum ke Jambi beliau menetap dan kawin di Palembang. Beberapa tahun kemudian baru pindah dan menetap di Pecinan Seberang Kota Jambi.
Al-Habib Husen bin Ahmad Baragbah yang juga di kenal sebagai Tuanku Keramat Tambak, juga merupakan kuturunan dari Rasulullah SAW. Silsilah beliau yaitu: Said Husen bin Abdurrahman bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Al Faqih Al Muqaddam bin Muhammad bin Ali Ba`alawi bin Muhammad bin Shohibu Marbat bin Ali Al Khali Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An wajib bin Ali al_Uraidhi bin Ja`far As-shodig bin Muhammad Al_Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah binti Rasulillah SAW.
Dari silsilah nama ini tampak jelas ada hubungan leluhur lansung dengan Akhmad Salim/Akhmad Barus. Berarti Said Husain juga adalah Alawiyin yang menyebarkan agama islam di Jambi.
Kehadiran Said Husin bin Ahmad Baragbah bersama anaknya bernama Said Qosim tinggal di kampung Arab Melayu. Selama 35 tahun ia menurunkan ilmu ajaran Islam dan setelah wafat di tahun 1173 H (1743 M) di lanjutkan oleh anak dan para muridnya. Makamnya di perkuburan khusus keturunan Ahlul Bait Rasulullah SAW di Tahlul Yaman yang dikenal juga sebagai makam Keramat Tambak. Nama Tambak di lekatkan di sana karena makam ini di tinggikan dengan penimbunan tanah yang disebut masyarakat sebagai Tambak. Sayyid Qosim wafat di tahun 1186 H (1756 M) dan di makamkan di samping makam ayahnya.
Menurut
catatan yang terukir di nisan yang terbuat dari kayu pada Makam Habib
Husain bin Ahmad Baragbah, diketahui bahwa ia wafat tahun 1173 H, dan
dimakamkan di Keramat Tambak, Kecamatan Pelayangan, seberang Kota Jambi.
Berdasarkan catatan tahun tersebut maka Habib Husain Baragbah itu hidup
di Jambi pada masa pemerintahan Sulthan Abdul Khahar (1615-1665 M) dan
puteranya Abdul Muhyi gelar Sulthan Sri Angologo (1665-1690).
Habib Husain Bin Ahmad mempunyai empat orang isteri, di antaranya ialah Nyai Resih binti Sintai
yang dikawinkan kepadanya oleh Sulthan Sri Angologo. Dari perkawinan
beliau dikaruniakan keturunan dan salah seorang bernama Abdurrahman Bin
Husin Ahmad. Catatan keluarganya yang masih ada sekarang tidak
menjelaskan isteri keberapakah Nyai Resih itu. Kalau perkawinan itu
terjadi pada masa Kesultanan Sulthan Sri Angologo, hal itu tentunya
setelah tahun 1665 M. Tetapi kedatangan Habib Husain Baragbah itu ke
Jambi pada tahun 1034 H atau 1088 H yakni kira-kira tahun 1668 M atau
1615 M.
Setelah
perkawinan Habib Husain bin Ahmad Baragbah dengan puteri Sintai yang
bernama Resih itu, percampuran darah antara kedua suku ini tentunya
semakin banyak pula terjadi. Meskipun demikian sesuai dengan kebiasaan
orang-orang Arab keturunan, baik dari kalangan Masyayikh seperti
keluarga Bafadhal, bin Atiq, Joban, bin Thalib, terlebih dari kalangan
Sayyid atau Sadah al-Ba’alawi (Alawiyyin) al-Huseini, seperti Baragbah,
al-Habsyi, al-Kaff, bin Syihab, al-Jufri, Assagaf, al-Bayti,
al-Hinduwan, al-Mahdhor, al-Munawwar, bahwa kaum laki-laki mereka boleh
mempersunting wanita di luar kalangan mereka, wanita dari kalangan
Masyayikh dan dari bumi putera, namun untuk para wanita mereka atau yang
dikenal dengan sebutan Syarifah (Syaraif) tidak boleh dipinang oleh
selain Sadah.
Empat tahun setelah berada di Jambi sebelum menikah dengan Nyai Resih Binti Sintai,
Habib Husin Bin Ahmad Baragbah sempat kembali ke Hadramaut dan
kemudian beliau kembali ke Jambi membawa beberapa ulama dari sana
diantaranya: Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal dan Said Alwi
al-Baiti.
Sebenarnya ada banyak tokoh guru yang mengajar dan ikut menyebarkan Islam di Jambi. Diantara tokoh guru tersebut adalah :
- Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M).
- Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal (1635 M)
- Sayyid Alwi al-Baiti (1637 M)
- H.Ishak bin H.Karim Mufti Jambi (1700).
- Kemas H. Muhammad Zen bin Kemas H. Abd. Rauf al-Jambi Asy-Syafi’i al-Naksabandi (1815).
- Pangeran Penghulu Noto Agomo Kampung Magatsari (1852).
- Al-Qodi Abd. Gani bin H. Abd. Wahid ( 1888).
- K.H. Abd. Majid Bin H. M. Yusuf Keramat (1893).
Para
tokoh guru tersebut menyelenggarakan pendidikan agama dan
ceramah-ceramah agama dengan pemikiran agar tertanam kesadaran
beragama. Kemudian timbullah pemikiran untuk mendidik anak-anak menuntut
ilmu agama Islam, terutama anak pejabat Kerajaan kesultanan Jambi dan
golongan di pemerintahan dengan maksud agar pejabat kerjaan nantinya
akan menjadi pendidik dan sebagai penyiar agama Islam. Dengan demikian
pemikiran mereka agar masyarakat mempunyai kesadaran beragama (Islam)
dan mempersiapkan kader penyiar agama Islam yang menuntut mereka
mempunyai kesadaran beragama (Islam) dan mempersiapkan kader penyiar
agama Islam yang menurut mereka sangat diperlukan dalam menghadapi
ancaman pengaruh kebudayaan maupun kekuasaan asing di daerah Jambi.
Dengan adanya pemikiran ini dan pelaksanaannya dilakukan dengan baik di
daerah Jambi timbul semangat keagamaan yang kuat dan dalam proses
perjuangan menantang Belanda atas daerah Jambi dimungkinkan dan dapat
terlaksana pada awal abad ke duapuluh.
Di
samping penduduk Pacinan yang ada di Jambi, terdapat juga banyak
silsilah keturunan yang tidak menyebut nama Baragbah atau Sintai,
seperti Hasan bin Abul Qadir bin Ibrahim bin Abd. Majid bin Yusuf bin
Abid bin Bagindo Bujang. Dilihat dari jenjang keturunan ini,
berkemungkinan Bagindo bujang itu hidup dalam waktu yang sama dengan
Habib Husain Baragbah atau putera-puteranya. Sumber keterangan ini tidak
dapat memberikan penjelasan asal-usul Bagindo Bujang itu. Dilihat dari
segi bahasa besar kemungkinan ia berasal dari Minangkabau atau suku
Melayu. Mungkin juga, disamping nama panggilan Bagindo Bujang ini, ia
juga mempunyai nama kecil yang oleh anak cucunya tidak disebut
sehingga akhirnya tidak dikenal lagi sekarang. Namun yang penting
diingat adalah semua nama-nama tersebut sudah memakai nama-nama Islam.
Bagindo Bujang ini agaknya adalah orang pendatang yang lalu
kawin pula dengan perempuan dari keturunan Sintai tadi tetapi anak keturunannya semuanya memakai nama Islam.
Di
Sembilan Koto (sekitar pulau Temiang) terdapat silsilah keturunan yang
sampai ke zaman yang sama atau berdekatan sekali dengan masa hidup Husin
Bin Ahmad Baragbah di Jambi yaitu: Tabrani Kasma bin Kasim bin Ma’syik
bin Hakim Bidar bin Datuk Bayah Juo bin Nenek Keramat Qur’an.
Suatu
hal yang menarik dalam hal ini Nenek Keramat al-Qur’an itu menurut
cerita cucu-cucunya berasal dari Minangkabau tetapi datang kesana dari
semenanjung Malaka. Mungkin juga ia seorang Minang yang sebelum datang
ke Sembilan Koto bermukim atau menuntut ilmu di semananjung Malaka.
Dilihat dari jumlah jenjang keturunan di atas tadi, kedatangannya ke
daerah Jambi jauh setelah kejatuhan Kerajaan Malaka (1511 M).
Berdasarkan
tinjauan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam sudah masuk
ke Jambi jauh sebelum kedatangan Habib Husain Baragbah awal abad ke 17
M. Tetapi dengan kedatangan beliau yang kemudian disusul oleh keluarga
Arab Hadhrami yang lain seperti Muhammad Shaufi Bafadhal, al-Habsyi,
Alwi al-Baiti dan lain-lain, Sejarah Islam di kesultanan Jambi mengalami
perkembangan pesat. Rakyat pada umumnya memakai nama Islam (arab) dan
ada pula yang naik haji serta menuntut ilmu ke Mekkah. Lebih menonjol
lagi kesultanan Jambi menunjukkan sikap konfrontatif terhadap kompeni
Belanda, disamping memperhatikan pelaksanaan Syari’at Islam di kalangan
penduduk.
0 Comments